Blog ini sedang dalam tahap perbaikan

Rabu, 03 Maret 2010

Teknologi, Komputer dan Jaringan



Ahmed Zewail, Penemu Femtokimia dari Mesir


Foto Ahmed Zewail lagi riset dengan spektroskopi femto laser

Nama Ahmed Zewail mungkin asing bagi Anda. Namun tidak demikian bagi yang melek ilmu kimia. Ia adalah kimiawan muslim yang meraih hadiah Nobel Kimia pada tahun 1999 atas keberhasilannya menemukan spektroskopi femto laser sehingga lahir ilmu kimia baru yang disebut femtokimia.
Ahmed Zewail dilahirkan pada 26 Februari 1946 di Damanhur, Mesir. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. Semasa remaja, Zewail amat menyenangi kimia. Baginya, kimia menyediakan fenomena laboratorium yang ingin dicoba ulang dan dipahaminya. Tak heran, tanpa sepengetahuan orang tuanya, di kamar tidurnya ia merakit sebuah peralatan kecil yang terbuat dari kompor ibunya dan beberapa tabung gelas untuk mengamati bagaimana kayu diubah menjadi asap dan cairan.

Dari Mesir ke AS

Selepas SMU, Zewail diterima kuliah di Fakultas Sains Universitas Alexandria. Ia lulus sebagai sarjana kimia pada tahun 1967 dengan predikat cum laude. Atas prestasinya itu, Zewail diangkat sebagai asisten dosen dan mendapat beasiswa S-2. Sebagai asisten dosen ia sangat disukai mahasiswanya karena penjelasannya sangat rinci dan sederhana. Di sisi lain, disertasinya selesai dalam waktu relatif singkat yaitu 8 bulan. Topik penelitiannya mengenai interaksi molekul dengan cahaya (spektroskopi).
Foto Zewail saat kuliah di Univeritas Pennsylvania
Pada tahun 1969, ia mendapat beasiswa S-3 dari Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Belajar di negeri Paman Sam ini pada awalnya membuat Zewail kesulitan karena perbedaan budaya, terlebih kemampuan berbahasa Inggrisnya pas-pasan. Namun, dengan tekad tinggi ia mampu mengatasinya dan akhirnya lulus sebagai doktor pada tahun 1974 dengan disertasi mengenai spektroskopi pasangan molekul (dimer).
Karena pada tahun tersebut Timor Tengah sedang dilanda perang, Zewail tidak memutuskan kembali ke Mesir. Ia lalu bekerja sebagai peneliti paskadoktoral di Universitas Barkeley selama dua tahun. Ia pun kemudian melamar posisi dosen ke 12 universitas ternama Amerika Serikat. Setelah menerima beberapa tawaran, akhirnya ia memutuskan menerima tawaran dari California Institute of Technology, California. Di salah satu perguruan tinggi bergengsi di dunia inilah Zewail meneliti keadaan transisi reaksi kimia.

Kelahiran femtokimia

Keadaan transisi adalah keadaan antara (intermediate) yang harus dilalui molekul atau atom saat bereaksi. Keadaan ini sulit diamati karena begitu singkatnya waktu keadaan transisi yaitu dalam rentang femtodetik (sepuluh pangkat minus 15 detik). Sebagai gambaran, satu femtodetik setara dengan satu detik dibagi 32 juta tahun.
Seperti kimiawan sebelumnya, Zewail menghadapi problem-problem teknis dalam meneliti keadaan transisi ini. Bahkan ada ilmuwan yang menganggap apa yang dilakukan Zewail itu tak akan berhasil. Namun, anggapan itu tak menyurutkan niatnya, malah membuat Zewail semakin bersemangat meneliti. Tak heran, ia sering berada di laboratorium sampai jam 4 pagi dan menghabiskan bergelas-gelas kopi. Keadaan ini membuat istrinya naik pitam. Maka hubungan Zewail dengan istrinya pun tidak harmonis yang berujung pada perceraian.
Sekali lagi, Zewail tidak terpengaruh. Ia terus fokus pada penelitiannya. Akhirnya, pada penghujung tahun 1980-an, Zewail berhasil mengamati keadaan transisi reaksi kimia garam natrium iodida dengan spektotrofotometer baru ciptaannya, yang sumber cahayanya berasal dari laser berdurasi femtodetik.
Tidak lantas berpuas diri, Zewail menggunakan alatnya itu untuk meneliti reaksi-reaksi kimia lain dari  cairan, padatan, gas, dan bahkan reaksi-reaksi kimia hayati (reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup). Penelitian-penelitian Zewail tersebut diakui dan dipuji sebagai terobosan oleh komunitas ilmiah. Beberapa tahun kemudian, penelitian-penelitan Zewail dan koleganya melahirkan cabang baru ilmu kimia yang disebut femtokimia.
foto-zewail-menerima-nobel-kimia-19991
Tidak hanya itu, pada tahun 1999, Zewail pun dianugerahi Hadiah Nobel Kimia. Dengan demikian, Zewail adalah peletak dasar pengembangan femtokimia sehingga ia layak disebut sebagai “bapak” femtokimia.


Sisi lain
Terlepas keberhasilan penelitiannya, kehidupan pribadinya pun kembali bahagia. Ia bertemu dengan jodohnya saat menerima penghargaan dari Raja Arab Saudi atas penelitiannya itu. Dengan istri keduanya ini, Zewail dikarunia dua putra, melengkapi dua putri dari istri sebelumnya

0 komentar:

Posting Komentar